Rabu, 27 Juni 2012

Memaafkan, Sulitkah Dilakukan?

Hari itu matahari senja menyorotkan sinar keemasan menembusi dinding kaca mall. Suasana di dalam pusat perbelanjaan teknologi terbesar di wilayah Indonesia timur ini berjalan biasa-biasa saja. Sebagian pekerja mondar-mandir mengirim barang. Sebagian lagi menikmati jajanan yang tersebar di sekitar mall sambil bercengkrama. Sementara para pengunjung lebih asyik window shoping sambil memperhatikan harga-harga yang dipajang di depan etalase tenant-tenant.

Saya sendiri tengah larut dalam rutinitas harian; memikirkan strategi penjualan menjelang akhir pekan. Sesekali saya menengok ke luar pintu menikmati sinar keemasan matahari yang jatuh di lantai berlapis tegel yang sudah kusam permukaannya. Saya melempar senyum, lebih kepada diri sendiri. Entah kenapa sore selalu menghadirkan perasaan yang tak bisa saya bagikan pada siapa pun. Lalu, saya kembali bertekun dengan pikiran sendiri.

Tak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar. Dua pekerja laki-laki saya semburat menuju keriuhan. Orang-orang mendongakkan kepala melihat apa yang terjadi. Saya masih terpaku di kursi berusaha mengabaikan apa yang terjadi. Biasanya, kata saya dalam hati, anak-anak kejepit di elevator. Maklum saja, meski menyebut mall, pusat perbelanjaan ini lebih mirip ruko yang dibangun dengan dana seadanya. Selain tegelnya banyak yang pecah dan diganti tegel lain model, gigi-gigi besi di ujung-ujung elevator mencuat di sana-sini. Dan ini kerap membawa korban (kebanyakan anak-anak). Peristiwa ini menimbulkan kepercayaan di kalangan para pekerja dan pengusaha, bahwa elevator-elevator tersebut meminta tumbal (menurut pikiran saya elevator-elevator itu sebenarnya minta ditambal).

Dua pekerja saya kembali. Mereka terlibat pembicaraan seru. Mendengar volume suara percakapan mereka dan kegairahan yang meluap-luap konsentrasi saya pun akhirnya beralih.

"Ada apa?" tanya saya ke salah satu pekerja itu.

"Ada pencuri, Pak...!"

"Pencuri? Di saat begini?" tanya saya lagi tak percaya.

Dua pekerja itu mengangguk dengan senyum puas. Mereka lalu menuturkan peristiwa yang barusan terjadi.

Seorang pria mencuri notebook di sebuah tenan. Ketika aksinya ketahuan laki-laki nekad itu berusaha melarikan diri namun dikejar beberapa satpam dan berpuluh-puluh orang. Laki-laki itu menaiki lantai atas dan bersembunyi di sudut ruang yang sepi. Tapi para pengejarnya akhirnya berhasil menemukannya dan memberinya bogem mentah bertubi-tubi.

"Asyik, yo! Pas tak gasak kenek raine (waktu aku pukul pas di wajahnya)," kata pekerja satunya. Yang lain menimpali, "Iyo, aku yo kuman nggasak. Pas ndek irunge. Rasakno koen, yo (Iya, aku juga dapat kesempatan. Pukulanku pas mendarat di hidungnya. Rasain kamu.).

Dua pekerja itu akhirnya tenggelam dalam percakapan sendiri. Sedang saya ditinggalkan dalam keadaan terbingung-bingung dan gundah. Bingung karena melihat aksi nekad pencuri sial itu. Gundah melihat bagaimana orang-orang, juga dua pekerja saya, menikmati pelampiasan kemarahan dan kebenciannya.

Sesampai di rumah pikiran saya masih dipenuhi kejadian tertangkapnya si pencuri notebook. Lintasan-lintasan pertanyaan; apa yang membuatnya begitu nekad melakukan aksinya di tengah suasana yang tidak memungkinkannya itu dan bagaimana orang-orang bisa secara spontan bertindak demikian brutal?

Esoknya saya menenpelkan dua halaman hvs ke dinding. Para pekerja menatap tulisan di kertas-kertas itu. Sesaat kemudian mereka tersenyum.
"Itu tentang kejadian kemarin, ya, Pak?"

Saya mengangguk. Wajah dua pekerja yang kemarin turut ambil bagian menghajar pencuri itu lalu menampilkan senyum dikulum. Saya membalas senyum mereka. Saya tidak bicara apa-apa. Pandangan saya alihkan ke tulisan-tulisan di dinding yang saya buat semalam. Pikiran saya pun mengalir seiring jalan cerita dalam tulisan tersebut.


Apa yang saya tulis?
Beribu tahun silam, seorang laki-laki dengan gagah berani menghentikan aksi kejam, sadis, dan brutal dari beberapa orang terhadap seorang perempuan. Orang-orang itu melemparkan batu-batu sekepalan, atau lebih besar lagi, ke perempuan yang berdiri tak berdaya di tengah-tengah mereka. Perempuan itu sudah menderita dan terluka namun tak ada jeritan ke luar dari bibirnya. Dan laki-laki yang datang ke tengah-tengah mereka dengan lembut menghampiri si perempuan serta memungut sebuah batu di dekatnya. Lalu dengan suara lembut namun bijaksana laki-laki itu berkata, "Kalau ada diantara kalian yang belum pernah melakukan kesalahan, silakan lemparkan batu ini kepadanya..."
Di ujung belahan dunia lain, di waktu yang telah lama silam, seorang guru spiritual didemo murid-muridnya. Para pendemo itu menganggap si guru bertindak tidak bijaksana. Si guru selalu membela salah seorang murid yang hobinya mencuri. Si guru meminta mereka untuk memaafkan tindakan tak terpuji itu.
"Ini sudah keterlaluan!" kata salah seorang pendemo.
"Kalau satu-dua kali, kita masih bisa memaafkan. Tapi ini sudah yang kesekian kali. Kalau dia tidak dikeluarkan, lebih baik kami meninggalkan tempat ini," sambung pendemo lainnya.
Si guru terdiam sejenak mendengar tantangan itu. Ia memandang ramah si pencuri, salah satu muridnya, yang tertunduk malu dan sedih.
"Saudara-saudara yang baik," jawab si guru kemudian. "Saya tahu bahwa tindakan teman kalian ini tidak benar. Sungguh, itu perbuatan yang sangat buruk...."
Si guru berhenti sebentar menatap ke wajah-wajah para pendemo. Lalu katanya lagi, "Tetapi karena saya menyadari bahwa kalian-kalian sudah bisa membedakan yang baik dari yang buruk, sementara dia belum, maka dengan sangat menyesal saya meminta si pencuri tetap tinggal..."
Si pencuri dengan perasaan bersalah dan terharu menghampiri si guru dan berlutut di depannya. Sejak itu ia telah meninggalkan kebiasaan buruknya....

Ah, saya jadi malu sendiri. Saya jelas bukan laki-laki bijaksana yang telah dengan gagah berani melindungi perempuan yang dianggap sampah masyarakat karena melacurkan diri. Atau sang guru yang dengan penuh kasih sayang berjuang membebaskan keburukan dalam diri seorang muridnya.

Saya hanya laki-laki biasa yang dalam banyak hal tidak banyak berbeda dengan dua pekerja pria itu; ceroboh, egois, serakah, bla bla bla....Dan, hanya kadang-kadang saja, saya menyadari keburukan-keburukan yang telah membatu dalam diri saya. Ketika kesadaran itu muncul saya berusaha menerima hidup yang saya jalani, hidup yang tidak seperti saya rencanakan....hidup yang tidak menghakimi...

Tapi ya itu tadi, kesadaran-kesadaran demikian jarang sekali munculnya. Dan kalau pun kesadaran itu timbul yang terasa hanya gemanya. Jadinya, saya harus berjuang keras untuk tidak ikutan melotot, melemparkan bogem mentah, atau makian ke orang-orang yang melakukan "keburukan". Karena, ya itu tadi, tindakan itu hanya membawa saya dalam kemurkaan. Dan kemurkaan....lho, kok jadi filosofis begini??? Ah, lebih enak ngomongin makanan aja deh...... lain kali....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar