Kamis, 28 Juni 2012

Cinta Tidak Selalu Harus Berwujud "Bunga"

Rinto, Rinto adalah seorang yang sederhana, Rini mencintai sifatnya yang alami dan Rini menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan Rini. Rini yakin bahwa Rinto adalah sosok suami yang dia selama idam-idamkan.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, Rini mulai merasa lelah. Alasan-alasannya mencintai Rinto seperti dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Rini seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Rini merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen.
Tetapi semua itu tidak pernah Rini dapatkan. Rinto jauh berbeda dari kenyataan yang Rini harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan Rini akan cinta yang ideal.
Suatu hari, Rini beranikan diri untuk mengatakan keputusannya kepada Rinto, bahwa Rini menginginkan perceraian dengan Rinto.
"Mengapa?", tanya Rinto dengan terkejut.
"Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang aku inginkan," jawab Rini.
Rinto terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan Rini semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa diharapkan darinya?
Dan akhirnya Rinto bertanya, "Apa yang dapat aku lakukan untuk merubah pikiran kamu?"

Rini menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Aku punya pertanyaan, jika kamu dapat menemukan jawabannya di dalam perasaanku, maka aku akan mengubah pikiran dan keputusanku."

"Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.
Apakah kamu akan memetik bunga itu untukku?"

Dia termenung dan akhirnya berkata, "Aku akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan Rini langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, Rinto tidak ada di rumah, dan Rini menemukan selembar kertas dengan coretan tangan di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan: "Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya."
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan Rini. Rini melanjutkan untuk membacanya.
"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijat kaki kamu yang pegal."
"Kamu senang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."
"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."
"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."
"Tetapi Sayang, aku tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir. Sayang, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari aku mencintai kamu. Untuk itu, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku tidak cukup buat kamu, aku tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."
Air mata aku jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi Rini tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."
"Jika kamu tidak puas dengan jawabanku ini, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, kebahagiaanku adalah bila melihat kamu bahagia."
Rini segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan Rini.
Kini Rini tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai Rini lebih dari Rinto mencintai Rini. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar